Entri Populer

Rabu, 10 November 2010

tunanetra mencari cinta

"Kenapa sih kamu mau sama dia?"
"Dia itu kan cacat?"
"Apa tidak ada pilihan
"Kenapa sih kamu mau sama dia?"
"Dia itu kan cacat?"
"Apa tidak ada pilihan lain yang lebih baik?"

Kita mungkin sering mendengar ungkapan-ungkapan semacam itu, atau mungkin kita sendiri yang mengutarakannya, ketika kita menjumpai pemandangan berikut;
seorang yang diberi kesempurnaan fisik yang hendak atau tengah menjalin hubungan (apapun bentuknya) dengan penyandang cacat (apapun jenis kecacatannya).

Nah, tentunya akan menjadi sebuah kajian sosial yang teramat panjang dan luas apabila kita hendak membahasnya secara global. Bagaimana kalau sekarang,
kita ikuti ulasan pribadi penulis, yang mana pada kesempatan ini, ruang lingkupnya kita persempit menjadi sebuah topik yang barangkali akan membuat Anda
tersenyum...

"Tunanetra mencari cinta..."

-Penulis: Aurora (pria, tunanetra)-

"Soal gampang bagi tunanetra kalau diminta mencari cinta, tapi perkara sulit bagi mereka untuk menemukan uang yang jatuh di jalan." Begitulah kira-kira
ungkap salah seorang rekan penulis, yang notabene sama-sama merasa yakin akan kebenaran ucapan tersebut, dan sama-sama percaya diri bahwa kalimat tersebut
benar adanya. Parahnya lagi, kita berdua sama-sama tunanetra asli yang tak dapat melihat indahnya wanita!

Lalu, apa hubungannya dengan kutipan yang kalau penulis tidak salah "lihat" telah penulis letakkan di bagian atas artikel ini (sebelah mana ya)? Tentu
itu berkaitan erat dengan kutipan-kutipan tersebut. Pasalnya, menurut pendapat banyak orang, adalah sebuah kesulitan besar bagi penyandang cacat, dalam
hal ini tunanetra, untuk memperoleh pasangan hidup. Proses tersebut, yang diyakini banyak orang juga, memerlukan keteguhan hati dan kekuatan mental.

Mengapa sulit? Mungkin jawaban atas pernyataan itu dapat kita temukan dalam frase berikut ini. "Kalau A dan B memiliki fisik yang sempurna, maka seharusnya
tak ada yang mempertanyakan atau mempermasalahkan bila A menjalin hubungan (dalam hal ini, cinta) dengan B. Keduanya dianggap sempurna karena memiliki
fisik yang sempurna, dan hal tersebut dianggap wajar. Maka, wajar saja bila keduanya menjalin hubungan." Nah, jika Anda kesulitan berpikir untuk menemukan
jawabannya, silahkan jawab dulu pertanyaan ini. "Wajarkah menurut Anda, bila A atau B salah satunya memiliki kecacatan fisik, dan mereka menjalin hubungan?"


OK, simpan jawaban Anda apapun itu, dan yakini terus sampai Anda mati. Namun untuk kali ini, kita berasumsi bahwa jawabannya adalah "tidak wajar."

Seperti sudah dijanjikan penulis, kita tak akan bicara yang berat-berat dan sampai menjurus kesana-sana dulu. Marilah kita sedikit "gaul" dengan mengikuti
sepenggal kisah penulis (25).

Di salah satu kisah cinta penulis, di sebuah sore yang indah (menurut mata pasangan penulis waktu itu), banyak orang yang hilir mudik di depan penulis
dan dia. Sebagian besar dari mereka (lagi-lagi kata pasangan penulis) menyempatkan diri untuk berhenti sejenak sambil melempar pandang ke arah kami berdua.
Ada yang menengok sambil tetap berjalan, ada yang memperlambat langkahnya, bahkan ada pula yang sampai berhenti sama sekali. "Kamu diliatin tuh," begitu
ungkap pasangan penulis. Proses "diliatin," yang penulis asumsikan sebagai tindak memandang dalam durasi waktu yang agak lama dan berusaha mengirimkan
pertanyaan lewat pandangan itu (silahkan lihat kembali tiga kutipan di atas), ternyata cukup untuk menggelitik penulis. Tentu saja "diliatin," karena satu
dari dua orang yang mereka pandangi adalah penyandang cacat. Lalu, penulis meminta pasangan penulis untuk duduk berdua di sebuah bangku panjang bersandar.
Setelah duduk, penulis memejamkan mata dan berpose seperti orang tidur. Apa yang terjadi? Mereka -- orang-orang yang hilir mudik itu -- mendadak kehilangan
rasa tertariknya untuk memandangi kami berdua. Semua berjalan normal seperti sedia kala.

Di kisah yang lain, yang baru-baru ini penulis alami dan cukup membuat penulis untuk tersenyum sehari penuh, adalah pengalaman ketika penulis hendak pergi
menemui pujaan hati di sebuah kota yang cukup jauh dari tempat tinggal penulis. Saat penulis utarakan pada sang pujaan hati bahwa penulis akan mengunjunginya,
sang pujaan hati berkonsultasi dengan salah satu rekannya. "Mungkin Aurora jatuh cinta padamu! Wah, kamu ngasih harapan ya ke dia? Sebaiknya jangan kasih
harapan kalau kamu nggak mau. Kalau aku jadi kamu, aku akan minta dia untuk tidak datang kesini." Nyatanya, penulis -- sendirian -- tetap datang dan berhasil
merengkuh sang pujaan hati (baca: diucapkan dengan fakta) dan kembali ke kota tempat tinggal penulis dengan selamat. Ternyata, kata "selamat" itu digunakan
rekan sang pujaan hati untuk menanyakan kabar sang pujaan hati setelah ia bertemu dengan penulis: "Bagaimana, kamu selamat?" Lalu, apa yang membuat penulis
tersenyum hingga sehari penuh? Sabar, setelah ini penulis akan menganalisa kedua kasus tersebut!

Pada kasus pertama, kita sama-sama mengetahui bahwa pasangan yang ada di sore yang indah itu salah satunya adalah penyandang cacat. Nah, kita telah berasumsi
bahwa kebanyakan orang menganggap hubungan tersebut tidak wajar, karena salah satu pelakunya adalah orang cacat, yang notabene dianggap berbeda, atau "aneh"
(ungkapan yang agak ekstrim). Orang-orang yang hilir mudik tadi -- yang melakukan proses "ngeliatin" -- melakukan itu karena menangkap adanya perbedaan
dalam pasangan yang diperhatikannya. "Kenapa matanya ya?" "Ih pacarnya normal, kok mau ya jalan sama orang buta?" Begitulah barangkali pertanyaan yang
terlontar saat orang-orang itu "ngeliatin." Rasanya sedikit orang yang bertanya atau menyatakan "Salut, mereka pasangan yang hebat" saat melakukan proses
"ngeliatin" itu. Lalu, mengapa orang-orang tidak "ngeliatin" ketika penulis berpose seperti orang tidur? Karena begitu penulis memejamkan mata dan berpose
seperti orang tidur, orang-orang tak dapat menemukan perbedaan dalam diri penulis. Dengan kata lain, mereka tak tahu kalau penulis tunanetra dan menganggap
bahwa pasangan yang duduk di bangku itu wajar-wajar saja.

Lalu bagaimana dengan kasus kedua? Sebelumnya penulis mohon maaf apabila penulis tak dapat menyodorkan data otentik, tapi sudah menjadi rahasia umum bahwa
kekurangan seseorang -- dalam hal ini soal fisik -- kerap kali membuat banyak orang memutuskan untuk ikut mengurangi kualitas diri sang berkekurangan fisik
itu. Misalnya, karena tunanetra, orang cenderung menganggap penulis berprofesi sebagai tukang pijat (karena umumnya tunanetra memang tukang pijat dan profesi
itu dianggap rendahan, jadi tunanetra itu rendah, mau bagaimana lagi?), dan yang paling ekstrim, ada yang pernah bilang begini pada penulis; "Dia buta?
Kalo bales SMS gimana bisa? Kalo kawin gimana mainnya?" Nah, kembali ke kasus. Masih ingat pernyataan rekan sang pujaan hati? Disini, penulis berasumsi
bahwa apabila penulis datang menemui sang pujaan hati, maka sang pujaan hati akan menerima kerugian akibat kedatangan tersebut (repot, takut menyakiti
perasaan penulis, atau alasan lain). Siapa yang menyangka kalau ternyata hati penulis dan pujaan hati bertaut, dan ketakutan yang diresahkan rekan sang
pujaan hati itu tak pernah terjadi (kalau boleh sedikit narsis, tak pernah terpikirkan oleh kami berdua)?

Berdasar pada dua kasus di atas, kita saksikan sebuah keadaan dimana hubungan cinta antara orang normal dan orang cacat telah mengundang pandangan yang
bermacam-macam. Bukan maksud hati ingin memilih, tapi kali ini penulis ingin fokus pada pandangan yang sifatnya negatif, seperti telah dipaparkan di atas.
Kita menyaksikan bahwa kebanyakan orang masih menganggap aneh hubungan semacam ini, dan dimana tingkat keberterimaan atas hubungan semacam ini masih rendah.


Menurut penulis, keadaan semacam ini terjadi karena kurangnya informasi dan pandangan positif dari pihak yang menganggap dirinya normal, dalam hal ini,
orang yang sempurna fisiknya. Informasi yang dimaksud adalah tentang bagaimana orang cacat itu, dan pengetahuan bahwa pada dasarnya yang kurang dari penyandang
cacat hanyalah fisiknya saja (baca: pernyataan terakhir tidak mengikutsertakan pengaruh lingkungan terhadap sang penyandang cacat yang akhirnya membentuk
kepribadiannya)

Mengingat penulis tidak mengetahui seluruh informasi tentang seluruh orang cacat yang ada di dunia ini, marilah kita mengambil contoh diri penulis sendiri.
Jadi, selanjutnya adalah komentar yang merujuk langsung pada diri penulis sendiri.

Untuk diketahui saja, penulis adalah tunanetra (buta), namun berkeyakinan bahwa itu hanyalah "kesalahan teknis" semata (karena ada kesalahan fisik, mata
tak dapat melihat). Dengan kata lain, penulis tak pernah mempermasalahkan kebutaan yang penulis miliki, dan menempatkan masalah kesalahan teknis itu pada
tempat yang sewajarnya (kalau tidak bisa menyeberang ya minta tolong, kalau tidak bisa membaca ya minta dibacakan, kalau tidak bisa kawin ya minta tolong
isteri untuk mengajari, dll).

Jadi, kita berasumsi bahwa tak ada masalah dengan hal-hal lain, tak terkecuali urusan cinta. Penulis tetap mengikuti kompetisi tanpa perlu mengkuatirkan
soal kecacatan yang penulis miliki. Penulis berhak jatuh cinta dan menyatakan perasaannya, punya kans untuk memenangkan hati seseorang, pun OK-OK saja
untuk menerima kekalahan dan ditolak, dan tentu saja berkesempatan untuk mencoba lagi.

Sekarang, gilirannya menjawab tiga contoh kutipan di bagian atas artikel. Menurut hemat penulis, pertanyaan "kenapa sih kamu mau sama dia," "dia itu kan
cacat," dan "apa tidak ada pilihan yang lebih baik" perlu dijawab dengan sangat bijaksana. Hal ini tentu terkait dengan orang normal yang menjadi pasangan
penulis.

Seperti telah kita ketahui, kecuali mata yang tak berfungsi, penulis adalah manusia yang normal lahir batin, dan tentu saja berhak mendapatkan cinta. Perihal
kenapa seseorang mau menjalin hubungan dengan penulis, apa salahnya? Penulis cacat, bukankah penulis ini normal soal cinta? Lebih baik, apakah mata dapat
menentukan pribadi seseorang itu lebih baik atau tidak?

Sebagai penegasan atas normalnya diri penulis (lagi-lagi tidak mengikutsertakan cacat yang penulis derita), penulis juga makan nasi dan minum air, bisa
tertawa dan menangis, punya gaji tetap dan sedang membayar cicilan rumah (alhamdulillah), dan tentunya lebih dari sekedar waras untuk menggarap artikel
ini.

So, setelah melihat contoh dalam diri penulis ini, apakah Anda masih berpikir bahwa salah/terlarang/tidak pantas/aneh/tidak boleh/haram adanya, jika penulis
mencintai seseorang yang normal, atau orang normal mencintai diri penulis? Tentu saja penulis tak mengharapkan jawaban apapun, kecuali pernyataan pasangan
penulis yang dengan setulus hati berkata, "Aku memilihmu bukan karena iba dan kasihan padamu, tapi karena kamu adalah sosok yang membuatku bangga..."
lain yang lebih baik?"

Kita mungkin sering mendengar ungkapan-ungkapan semacam itu, atau mungkin kita sendiri yang mengutarakannya, ketika kita menjumpai pemandangan berikut;
seorang yang diberi kesempurnaan fisik yang hendak atau tengah menjalin hubungan (apapun bentuknya) dengan penyandang cacat (apapun jenis kecacatannya).

Nah, tentunya akan menjadi sebuah kajian sosial yang teramat panjang dan luas apabila kita hendak membahasnya secara global. Bagaimana kalau sekarang,
kita ikuti ulasan pribadi penulis, yang mana pada kesempatan ini, ruang lingkupnya kita persempit menjadi sebuah topik yang barangkali akan membuat Anda
tersenyum...

"Tunanetra mencari cinta..."

-Penulis: Aurora (pria, tunanetra)-

"Soal gampang bagi tunanetra kalau diminta mencari cinta, tapi perkara sulit bagi mereka untuk menemukan uang yang jatuh di jalan." Begitulah kira-kira
ungkap salah seorang rekan penulis, yang notabene sama-sama merasa yakin akan kebenaran ucapan tersebut, dan sama-sama percaya diri bahwa kalimat tersebut
benar adanya. Parahnya lagi, kita berdua sama-sama tunanetra asli yang tak dapat melihat indahnya wanita!

Lalu, apa hubungannya dengan kutipan yang kalau penulis tidak salah "lihat" telah penulis letakkan di bagian atas artikel ini (sebelah mana ya)? Tentu
itu berkaitan erat dengan kutipan-kutipan tersebut. Pasalnya, menurut pendapat banyak orang, adalah sebuah kesulitan besar bagi penyandang cacat, dalam
hal ini tunanetra, untuk memperoleh pasangan hidup. Proses tersebut, yang diyakini banyak orang juga, memerlukan keteguhan hati dan kekuatan mental.

Mengapa sulit? Mungkin jawaban atas pernyataan itu dapat kita temukan dalam frase berikut ini. "Kalau A dan B memiliki fisik yang sempurna, maka seharusnya
tak ada yang mempertanyakan atau mempermasalahkan bila A menjalin hubungan (dalam hal ini, cinta) dengan B. Keduanya dianggap sempurna karena memiliki
fisik yang sempurna, dan hal tersebut dianggap wajar. Maka, wajar saja bila keduanya menjalin hubungan." Nah, jika Anda kesulitan berpikir untuk menemukan
jawabannya, silahkan jawab dulu pertanyaan ini. "Wajarkah menurut Anda, bila A atau B salah satunya memiliki kecacatan fisik, dan mereka menjalin hubungan?"


OK, simpan jawaban Anda apapun itu, dan yakini terus sampai Anda mati. Namun untuk kali ini, kita berasumsi bahwa jawabannya adalah "tidak wajar."

Seperti sudah dijanjikan penulis, kita tak akan bicara yang berat-berat dan sampai menjurus kesana-sana dulu. Marilah kita sedikit "gaul" dengan mengikuti
sepenggal kisah penulis (25).

Di salah satu kisah cinta penulis, di sebuah sore yang indah (menurut mata pasangan penulis waktu itu), banyak orang yang hilir mudik di depan penulis
dan dia. Sebagian besar dari mereka (lagi-lagi kata pasangan penulis) menyempatkan diri untuk berhenti sejenak sambil melempar pandang ke arah kami berdua.
Ada yang menengok sambil tetap berjalan, ada yang memperlambat langkahnya, bahkan ada pula yang sampai berhenti sama sekali. "Kamu diliatin tuh," begitu
ungkap pasangan penulis. Proses "diliatin," yang penulis asumsikan sebagai tindak memandang dalam durasi waktu yang agak lama dan berusaha mengirimkan
pertanyaan lewat pandangan itu (silahkan lihat kembali tiga kutipan di atas), ternyata cukup untuk menggelitik penulis. Tentu saja "diliatin," karena satu
dari dua orang yang mereka pandangi adalah penyandang cacat. Lalu, penulis meminta pasangan penulis untuk duduk berdua di sebuah bangku panjang bersandar.
Setelah duduk, penulis memejamkan mata dan berpose seperti orang tidur. Apa yang terjadi? Mereka -- orang-orang yang hilir mudik itu -- mendadak kehilangan
rasa tertariknya untuk memandangi kami berdua. Semua berjalan normal seperti sedia kala.

Di kisah yang lain, yang baru-baru ini penulis alami dan cukup membuat penulis untuk tersenyum sehari penuh, adalah pengalaman ketika penulis hendak pergi
menemui pujaan hati di sebuah kota yang cukup jauh dari tempat tinggal penulis. Saat penulis utarakan pada sang pujaan hati bahwa penulis akan mengunjunginya,
sang pujaan hati berkonsultasi dengan salah satu rekannya. "Mungkin Aurora jatuh cinta padamu! Wah, kamu ngasih harapan ya ke dia? Sebaiknya jangan kasih
harapan kalau kamu nggak mau. Kalau aku jadi kamu, aku akan minta dia untuk tidak datang kesini." Nyatanya, penulis -- sendirian -- tetap datang dan berhasil
merengkuh sang pujaan hati (baca: diucapkan dengan fakta) dan kembali ke kota tempat tinggal penulis dengan selamat. Ternyata, kata "selamat" itu digunakan
rekan sang pujaan hati untuk menanyakan kabar sang pujaan hati setelah ia bertemu dengan penulis: "Bagaimana, kamu selamat?" Lalu, apa yang membuat penulis
tersenyum hingga sehari penuh? Sabar, setelah ini penulis akan menganalisa kedua kasus tersebut!

Pada kasus pertama, kita sama-sama mengetahui bahwa pasangan yang ada di sore yang indah itu salah satunya adalah penyandang cacat. Nah, kita telah berasumsi
bahwa kebanyakan orang menganggap hubungan tersebut tidak wajar, karena salah satu pelakunya adalah orang cacat, yang notabene dianggap berbeda, atau "aneh"
(ungkapan yang agak ekstrim). Orang-orang yang hilir mudik tadi -- yang melakukan proses "ngeliatin" -- melakukan itu karena menangkap adanya perbedaan
dalam pasangan yang diperhatikannya. "Kenapa matanya ya?" "Ih pacarnya normal, kok mau ya jalan sama orang buta?" Begitulah barangkali pertanyaan yang
terlontar saat orang-orang itu "ngeliatin." Rasanya sedikit orang yang bertanya atau menyatakan "Salut, mereka pasangan yang hebat" saat melakukan proses
"ngeliatin" itu. Lalu, mengapa orang-orang tidak "ngeliatin" ketika penulis berpose seperti orang tidur? Karena begitu penulis memejamkan mata dan berpose
seperti orang tidur, orang-orang tak dapat menemukan perbedaan dalam diri penulis. Dengan kata lain, mereka tak tahu kalau penulis tunanetra dan menganggap
bahwa pasangan yang duduk di bangku itu wajar-wajar saja.

Lalu bagaimana dengan kasus kedua? Sebelumnya penulis mohon maaf apabila penulis tak dapat menyodorkan data otentik, tapi sudah menjadi rahasia umum bahwa
kekurangan seseorang -- dalam hal ini soal fisik -- kerap kali membuat banyak orang memutuskan untuk ikut mengurangi kualitas diri sang berkekurangan fisik
itu. Misalnya, karena tunanetra, orang cenderung menganggap penulis berprofesi sebagai tukang pijat (karena umumnya tunanetra memang tukang pijat dan profesi
itu dianggap rendahan, jadi tunanetra itu rendah, mau bagaimana lagi?), dan yang paling ekstrim, ada yang pernah bilang begini pada penulis; "Dia buta?
Kalo bales SMS gimana bisa? Kalo kawin gimana mainnya?" Nah, kembali ke kasus. Masih ingat pernyataan rekan sang pujaan hati? Disini, penulis berasumsi
bahwa apabila penulis datang menemui sang pujaan hati, maka sang pujaan hati akan menerima kerugian akibat kedatangan tersebut (repot, takut menyakiti
perasaan penulis, atau alasan lain). Siapa yang menyangka kalau ternyata hati penulis dan pujaan hati bertaut, dan ketakutan yang diresahkan rekan sang
pujaan hati itu tak pernah terjadi (kalau boleh sedikit narsis, tak pernah terpikirkan oleh kami berdua)?

Berdasar pada dua kasus di atas, kita saksikan sebuah keadaan dimana hubungan cinta antara orang normal dan orang cacat telah mengundang pandangan yang
bermacam-macam. Bukan maksud hati ingin memilih, tapi kali ini penulis ingin fokus pada pandangan yang sifatnya negatif, seperti telah dipaparkan di atas.
Kita menyaksikan bahwa kebanyakan orang masih menganggap aneh hubungan semacam ini, dan dimana tingkat keberterimaan atas hubungan semacam ini masih rendah.


Menurut penulis, keadaan semacam ini terjadi karena kurangnya informasi dan pandangan positif dari pihak yang menganggap dirinya normal, dalam hal ini,
orang yang sempurna fisiknya. Informasi yang dimaksud adalah tentang bagaimana orang cacat itu, dan pengetahuan bahwa pada dasarnya yang kurang dari penyandang
cacat hanyalah fisiknya saja (baca: pernyataan terakhir tidak mengikutsertakan pengaruh lingkungan terhadap sang penyandang cacat yang akhirnya membentuk
kepribadiannya)

Mengingat penulis tidak mengetahui seluruh informasi tentang seluruh orang cacat yang ada di dunia ini, marilah kita mengambil contoh diri penulis sendiri.
Jadi, selanjutnya adalah komentar yang merujuk langsung pada diri penulis sendiri.

Untuk diketahui saja, penulis adalah tunanetra (buta), namun berkeyakinan bahwa itu hanyalah "kesalahan teknis" semata (karena ada kesalahan fisik, mata
tak dapat melihat). Dengan kata lain, penulis tak pernah mempermasalahkan kebutaan yang penulis miliki, dan menempatkan masalah kesalahan teknis itu pada
tempat yang sewajarnya (kalau tidak bisa menyeberang ya minta tolong, kalau tidak bisa membaca ya minta dibacakan, kalau tidak bisa kawin ya minta tolong
isteri untuk mengajari, dll).

Jadi, kita berasumsi bahwa tak ada masalah dengan hal-hal lain, tak terkecuali urusan cinta. Penulis tetap mengikuti kompetisi tanpa perlu mengkuatirkan
soal kecacatan yang penulis miliki. Penulis berhak jatuh cinta dan menyatakan perasaannya, punya kans untuk memenangkan hati seseorang, pun OK-OK saja
untuk menerima kekalahan dan ditolak, dan tentu saja berkesempatan untuk mencoba lagi.

Sekarang, gilirannya menjawab tiga contoh kutipan di bagian atas artikel. Menurut hemat penulis, pertanyaan "kenapa sih kamu mau sama dia," "dia itu kan
cacat," dan "apa tidak ada pilihan yang lebih baik" perlu dijawab dengan sangat bijaksana. Hal ini tentu terkait dengan orang normal yang menjadi pasangan
penulis.

Seperti telah kita ketahui, kecuali mata yang tak berfungsi, penulis adalah manusia yang normal lahir batin, dan tentu saja berhak mendapatkan cinta. Perihal
kenapa seseorang mau menjalin hubungan dengan penulis, apa salahnya? Penulis cacat, bukankah penulis ini normal soal cinta? Lebih baik, apakah mata dapat
menentukan pribadi seseorang itu lebih baik atau tidak?

Sebagai penegasan atas normalnya diri penulis (lagi-lagi tidak mengikutsertakan cacat yang penulis derita), penulis juga makan nasi dan minum air, bisa
tertawa dan menangis, punya gaji tetap dan sedang membayar cicilan rumah (alhamdulillah), dan tentunya lebih dari sekedar waras untuk menggarap artikel
ini.

So, setelah melihat contoh dalam diri penulis ini, apakah Anda masih berpikir bahwa salah/terlarang/tidak pantas/aneh/tidak boleh/haram adanya, jika penulis
mencintai seseorang yang normal, atau orang normal mencintai diri penulis? Tentu saja penulis tak mengharapkan jawaban apapun, kecuali pernyataan pasangan
penulis yang dengan setulus hati berkata, "Aku memilihmu bukan karena iba dan kasihan padamu, tapi karena kamu adalah sosok yang membuatku bangga..."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar